DUA sahabat itu masih mengobrol di pendapa. Lagu Sound of Silence sudah lama berakhir dan kini berganti dengan lagu Bridge over Trouble Water yang liriknya ditulis Paul Simon pada musim panas 1969.
“Pak Singa, ada kopi nggak ? Tiba-tiba kok aku pingin ngopi,” ujar Pak Werku.
“Oh maaf, dari tadi kita ngobrol sampai lupa membuatkan minum.”
Pak Singa pun beranjak dari tempat duduknya, menuju ke mini bar. Dia membuat kopi hitam dengan sedikit gula, kesukaan sahabatnya. Setelah meletakkan cangkir kopi beserta kue, dia kembali duduk di tempat semula.
“Sampai di mana kita tadi ?”
“Komunikasi Pak Singa. Soal kehidupan manusia dan komunikasi.”
“Oh ya. Saya jadi ingat pernah ada kisah menarik yang ditulis oleh Jalaluddin Rakhmat, dalam buku Psikologi Komunikasi. Kalau nggak salah, aku masih menyimpan bukunya. Tunggu sebentar, saya cari di perpustakaan,” kata Pak Singa sambil beranjak dari tempatnya.
Sekitar 10 menit kemudian, dia kembali sambil membawa buku yang agak tebal. “Ini buku saya beli waktu masih kuliah dulu. Sekitar tahun 1990, setahun setelah terbit. Sudah lama sekali, tetapi nampaknya isinya selalu relevan. Di sini ada cerita menarik tentang Genie.”
Mendengar itu, Pak Werku mulai serius. Dia memang paling suka akan kisah-kisah kehidupan, seperti yang ditulis dalam blog ini.
Setelah mempersilakan Pak Werku menyeruput kopinya, Pak Singa pun melanjutkan cerita tentang Genie.
Menurut Pak Jalaluddin Rakhmat, Genie (nama samaran) adalah seorang gadis berusia 13 tahun, yang sejak kecil terkurung di sebuah "neraka" yang dibuat ayahnya.
Ketika itu pada 1970, ibu Genie yang berusia 50 tahun, berhasil melarikan diri dari rumah mereka di California, untuk kemudian meminta bantuan para pekerja sosial.
Penyebabnya adalah dia sudah tidak tahan lagi atas perlakuan kejam sang suami (70), pada dia dan anak-anaknya.
Saat bertemu petugas kesejahteraan sosial, kondisi Genie sangat memprihatinkan.
Dia tak bisa lagi berdiri tegak, tubuhnya begitu kurus, kering, selalu meludah, dan tak bisa berkomunikasi.
Curiga bahwa telah terjadi penganiayaan, penyelidikanpun dilakukan, hingga berujung pada penangkapan sang ayah.
Akhirnya diketahui, bahwa sejak kecil, bocah malang itu setiap hari disiksa. Sang ayah juga menempatkannya dalam kesunyian. Ayah Genie melarang siapapun untuk berbicara pada gadis itu.
"Kamu tahu nggak, kisah miris semacam itu ternyata terjadi beberapa kali ?" kata Pak Singa.
Dia pun kemudian menceritakan kisah seorang gadis yang selama lima tahun tinggal bersama kawanan anjing liar.
"Pada 2018, ada berita tentang penemuan Oxana Malaya," kata Pak Singa sambil menunjukkan berita Viva.co.id, 26 Juli 2018 lalu.
Di situ dikisahkan, selama lima tahun, Oxana tak bertemu manusia, dia pun menyesuaikan tingkahnya dengan tingkah anjing. Oxana berjalan dengan merangkak, makan daging mentah, menggeram, mengendus, menggonggong dan menggertakan giginya ketika didekati.
“Dari cerita itu, kita tahu bahwa tanpa komunikasi, kehidupan sosial manusia tak akan berlangsung,” ujar Pak Singa.
"Iya. Dan itu mengerikan. Suatu kehidupan yang sangat rumit. Saya kok jadi ingat pada film-film tentang Tarzan," kata Pak Werku.
"Lha memang ada apa dengan Tarzan," sahut Pak Singa tak mengerti.
Pak Werku terdiam sebentar. Dahinya berkerut seperti memikirkan sesuatu. Lalu diapun mulai bercerita tentang Tarzan.
Tarzan menurutnya adalah anak yang sejak bayi berada di hutan. Ayah dan ibunya meninggal dan dia dibesarkan oleh simpanse dan berteman dengan hewan-hewan hutan.
Tetapi anehnya, dia bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris, dengan manusia lain (Jane), perempuan yang tersesat di hutan itu. Lalu dari siapa dia belajar bahasa itu ?
"Pak Singa mungkin tahu, dia belajar dari siapa ?"
Pak Singa yang tak menduga bakal mendapat pertanyaan seperti itu, seketika terhenyak. Dia sama sekali tak menduga pikiran kritis sahabatnya itu.
Selama ini dia meyakini, bahwa kemampuan orang untuk berkomunikasi, sangat tergantung pada proses belajar yang dialaminya, terutama dari orang tua dan lingkungan.
Anak-anak Pangeran Charles, cucu Ratu Elizabeth dari Inggris, bisa berbahasa Inggris karena belajar dari orang tua dan lingkungannnya. Demikian pula Bu Atmo, penjual pecel di Alun-alun, bisa berbahasa Jawa lantaran belajar dari orang tuanya. Dengan begitu, ini bukan persoalan genetik.
Lalu bagaimana mungkin, Tarzan yang sejak bayi diasuh oleh simpanse bisa berbahasa Inggris.
"Lha bagaimana menurutmu Pak Werku ?"
"Lha kalau menurutku, jawabannya ya gampang."
"Gampang bagaimana ?" sahut Pak Singa masih tidak mengerti.
"Ya gampang to Pak Singa. Yang menyuruh Tarzan berbahasa Inggiris, ya penulis ceritanya," kata Pak Werku sambil ngakak. (*)
Komentar
Posting Komentar
Berikan komentar secara sopan dan no SARA