“Hello darkness, my old friend
I've come to talk with you again
Because a vision softly creeping
Left its seeds while I was sleeping
And the vision that was planted in my brain
Still remains
Within the sound of silence”
SAMBIL menyeruput kopinya, saya menikmati lagu The Sound of Silence, karya Simon and Garfunkel (1964), dari sebuah fonograf tua di sudut pendapa.
Suaranya memang tidak sejernih musik dari pemutar media digital seperti MP3 atau MP4. Tetapi suara rekaman lama Simon and Garfunkel itu, justru terdengar orisinil.
‘’Wah.....ngelaras yo Pak Singa,” ucap Pak Werku sahabatnya, yang tiba-tiba datang.
Saya dan Pak Werku memang sudah bagaikan dua bersaudara. Sebelum Covid-19 melanda, kami sering menikmati alunan musik, sambil minum kopi di kafe, sekitar 1 Km, dari rumah mereka. Tetapi pandemi ini menyebabkan kafe tersebut terpaksa ditutup untuk sementara.
Dua sahabat itu pun tak punya lagi tempat untuk bersantai. Karena itulah kemudian Pak Singa mengubah pendapa di depan rumahnya, menjadi seperti kafe dengan meja bar, botol-botol minuman, panggung, lengkap dengan seperangkat sistem audio yang dapat digunakan untuk karaoke secara online.
Tentu saja, kafe tersebut hanya digunakan oleh keluarga saya. Kalaupun ada orang lain, itu hanya Pak Werku dan keluarganya. Mereka adalah tetangga satu kompleks perumahan.
“Itu Simon and Garfunkel ya Pak Singa,” kata Pak Werku setelah duduk di seberang meja.
“Iya. Kamu juga suka dengan lagu itu khan ?. Rasanya seperti menikmati keheningan.”
“Iya. Kamu sering menyanyikan lagu itu, waktu kita masih sering nongkrong di kafe. Tapi terus terang, sampai sekarang aku masih tidak paham, makna dari lagu itu,’’ sahut Pak Werku.
“Lagu itu aneh. Suara kok hening. Bingung khan ?” lanjutnya.
“Aku semua juga nggak paham, sampai kemudian aku menemukan titik terang akan jawabanya.”.
Saya lalu memencet-mencet tablet pintar dan sesaat kemudian menunjukkan ke Pak Werku.
“Dalam Wikipedia, Garfunkel pernah menyimpulkan, arti lagu itu sebagai ketidakmampuan orang untuk berkomunikasi satu sama lain, terutama secara emosional. Coba sekarang kita bayangkan, ketika ada sebuah masyarakat, tetapi orang-orangnya tak mampu untuk berkomunikasi.”.
“Maksutnya ?” sahut Pak Werku tak paham.
“Iya kita ini setiap hari berkomunikasi. Seperti sekarang, kita saling berbicara. Kamu bertanya, aku menjelaskan, atau sebaliknya. Ketika kita lapar, kadang kita bertanya pada istri kita, memasak apakah hari ini. Ketika saya ingin ngopi, saya tinggal minta si Minah untuk membuatkan. Setiap hari kita juga baca koran, menonton televisi, atau mencari informasi lewat internet. Bahkan setiap hari, kita juga berbicara dengan Tuhan, lewat doa-doa kita. Nah sekarang bayangkan, ketika semua itu tidak ada lagi.”
Pak Werku yang sejak tadi menyimak uraian sahabatnya itu pun mengernyitkan dahi. “Ya mungkin saja, kehidupan manusia tidak akan berjalan seperti ini. Mungkin dunia akan sepi dan manusia akan hidup seperti binatang,” sahut Pak Werku mereka-reka jawabannya.
“Ya itu mungkin akan seperti itu. Tapi harus ingat juga, bahwa beberapa hewan telah menunjukkan bahwa mereka juga berkomunikasi. Bisa pada sesamanya, atau pada hewan lain atau manusia.”
“Kok bisa. Apa ya mungkin kita ngobrol sama binatang,” bantah Pak Werku.
Entah dari mana, tiba-tiba Gembul Sungeong, si kucing berbulu hitam dan putih milik Pak Singa secara bergantian. Kucing jantan itu memang sudah sangat akrab dengan dua orang itu.
“Halo Gembul. Minta makan ya,” kata Pak Werku sambil beranjak dari kursinya, untuk kemudian menuju ke sudut pendapa. Di situ sudah ada kaleng berisi makanan kering, khusus untuk Gembul.
“Ini Mbul anak ganteng. Silakan makan,” sambil memberikan dua sendok biji-biji makanan kucing.
Setelah melihat sebentar si Gembul, Pak Werku pun kembali ke tempat duduknya.
“Sampai di mana kita tadi ? Eh ya soal komunikasi,” kata dia.
Setelah menyeruput kopinya, Pak Singa pun melanjutkan pembicaraannya.
“Iya soal berkomunikasi dengan binatang.”
“Iya. Mana bisa kita berkomunikasi dengan binatan. Kita ngomong dia nggak ngerti. Dia ngomong, kita nggak ngerti,” sahut Pak Werku masih belum mengerti.
“Lha yang barusan kamu lakukan pada si Gembul itu apa ? Itu komunikasi juga. Gembul, dengan caranya minta makan dan kamu memberinya.”
Mendengar penjelasan sahabatnya itu, Pak Werku baru paham, bahwa komunikasi bisa berlangsung dalam bentuk paling sederhana. Bahkan oleh dia mahluk yang sama sekali berbeda.
Nah... kalau kemampuan berkomunikasi itu hilang, manusia mungkin akan menjadi mahluk primitif. Bahkan dalam rantai makanan, bisa saja manusia lebih rendah derajatnya dari si Gembul. Bukan manusia yang memberinya makan, tetapi justru manusia lah yang dimakan oleh kucing.
“Lho kok melamun,” kata ku membangunkan Pak Werku dari lamunan.
“Saya tidak melamun bos Singa. Saya cuma sedang berfikir, bagaimana seandainya manusia tidak punya kemampuan berkomunikasi. Mungkin kita malah lebih mirip tanaman ya.”
“Lha itu maksutku. Karena itulah, komunikasi menjadi sangat penting, walaupun tanpanya, kita masih bisa hidup.” (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar
Berikan komentar secara sopan dan no SARA